Selasa, 10 Mei 2011

BUGIS

Orang Bugis berasal dari kepulauan Sulawesi di Indonesia, dan kini dengan populasi seramai lebih 4 juta, mendiami hampir kesemua kawasan di Sulawesi Selatan. Penaklukan Belanda pada kurun ke-17 menyebabkan sebahagian daripada mereka berpindah dan kini telah bercampur dengan suku lain di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Semenanjung Malaysia dan Sabah, Sarawak
Etnik Bugis cukup terkenal di dalam bidang maritim di Kepulauan Melayu dan di dalam bidang ekonomi. Mereka juga terkenal sebagai pahlawan yang berani, lanun yang digeruni dan pedagang yang berjaya. Pusat tumpuan utama bagi kebudayaan dan ekonomi etnik ini adalah Ujung Pandang atau dikenali sebagai Makassar. Orang Bugis juga merupakan penganut agama Islam.

“Dari mana nenek-moyang orang Sulawesi Selatan berasal? … jika anggapan Mills benar bahwa lokasi pertama yang ditempati para pendatang adalah sekitar muara Sungai Saddang, maka kemungkinan besar asalnya dari Kalimantan Timur, yakni sekitar Kutei-Samarinda, atau dari bagian tenggara Kalimantan, yakni sekitar Pegatan-Pulau Laut (belakangan, pada kedua wilayah itu terdapat perkampungan bugis. Mungkin tanpa disadari, mereka sebenarnya telah kembali ke tempat asal nenek-moyang mereka) …”

Demikian Christian Pelras, menulis salah satu tesis tentang asal nenek moyang orang Bugis di Sulawesi Selatan, di dalam bukunya Manusia Bugis (Nalar, 2006 hal. 45, terjemahan dari The Bugis, 1996). Tesis ini sudah lama dikemukakan oleh seorang ahli bahasa, Roger F. Mills, yaitu pada tahun 1975, namun bagi masyarakat umum berpendapat ini mungkin masih baru.

Selain baru, juga menarik sebab pemahaman yang ada adalah orang Bugis (termasuk suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat) yang ada di Kalimantan Timur dewasa ini berasal dari pulau Sulawesi dari proses gelombang migrasi yang hampir terjadi sepanjang tahun, meski itu hanya per individu. Dengan kata lain, “Mereka kembali ke asal”. Betulkah demikian? Ada ilmuwan yang setuju, ada yang tidak. Namun dari penelitian kesamaan bahasa dan kedekatan geografis, itu sangat dimungkinkan untuk terjadi.

Yang perlu diketahui, istilah “Bugis” sering ditafsirkan sebagai “orang dari Sulawesi Selatan”, meski orang itu beretnik Makassar, Mandar, Bajau dan Toraja. Kedua, adalah orang Bugis yang memang melakukan migrasi (lahir di tanah Sulawesi untuk kemudian pindah) dan ada yang orang hanya Bugis biologis saja, yaitu kedua (atau satu) orangtuanya berasal dari Sulawesi tetapi dia lahir di Kalimantan Timur.

Buku setebal 500 halaman itu merupakan buku terbaik tentang kebudayaan Suku Bugis. Ertinya, ianya mampu menjadi rujukan untuk dua hal di atas: perbedaan dan kesamaan Bugis dengan suku lain dan acuan generasi Bugis yang lahir di luar tana Ugi, misalnya di Kalimantan Timur ini. Manusia Bugis dan budayanya amatlah penting diketahui dari sumber yang objektif sebab seringkali ada yang belum kita fahami hingga menimbulkan persepsi yang salah atau berlebihan terhadap Bugis dan manusianya.

Kalimat kunci yang menjadi benang merah antara: Pulau Sulawesi–manusia Bugis–migrasi–tujuan migrasi adalah alasan untuk melakukan perpindahan dari tanah kelahirannya ke daerah lain, baik di pulau yang sama (Sulawesi) maupun di seberang lautan:
“…berhubungan dengan upaya mencari pemecahan konflik pribadi, menghindari penghinaan, kondisi yang tidak aman, atau keinginan untuk melepaskan diri baik dari kondisi sosial yang tidak memuaskan, maupun hal-hal yang tidak diinginkan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan ditempat asal.” (hal. 370).

Dari alasan-alasan di atas, Pelras mengambil contoh orang Bugis di Kalimantan Timur sebagai salah satu contoh, iaitu perpindahan seorang bangsawan Wajo’ bernama La Ma’dukelleng bersama 3.000 pengikutnya ke Pasir. Dan oleh Sultan Pasir, perantau tersebut diberi tanah yang sekarang ini dikenal dengan nama Samarinda, kawasan yang dibesarkan oleh orang Bugis.

Alasan di atas diteruskan dengan: “Hanya saja, alasan seperti itu saja tampaknya tidak akan cukup memadai untuk dijadikan landasan untuk memahami mengapa begitu banyak tersebar pemukiman orang Bugis di seluruh Nusantara sejak akhir abad ke-17. Juga tidak dapat menjelaskan kenyataan bahwa—terlepas dari keadaan yang terus berubah—aktivitas perantauan justru merupakan ciri khas “permanen” orang Bugis hingga kini”.


Lalu, sebenarnya budaya apakah yang beridentitikan manusia Bugis? Pertanyaan ini mudah dijawab untuk orang Bugis yang memang lahir dan besar di Sulawesi Selatan. tetapi bagaimana pula yang mengaku dirinya sebagai to Bugis tetapi dia lahir di daerah lain, katakanlah Tanah Melayu? Ya, dia berhak bersikap demikian jika kedua orangtuanya Bugis totok, lahir sahaja sudah tahu berbahasa Bugis. Tapi ini kan hanya salah satu unsur budaya Bugis. Bagaimana pula dengan unsur-unsur budaya yang lain? Apakah dia juga memiliki sikap siriq dan pesseq? Apakah ketika dia lahir dan dinikahkan oleh orangtuanya menggunakan budaya-budaya Bugis? Rumahnya bercirikan rumah Bugis? Adakah mereka sahaja yang berhak digelar manusia Bugis?
Tidak!! Inilah yang perlu dijawab dan difahami generasi Bugis yang lahir di perantauan. Naskah ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk dapat memperkukuhkan diri sebagai generasi yang tidak kehilangan akar budaya meskipun dia lahir di luar tanah-budaya moyangnya walaupun hanya karena dia keturunan sepasang laki-laki dan perempuan yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Bukan itu saja, orang lain yang mempunyai latar belakang suku yang berbeda tetapi bergaul dengan manusia Bugis di kehidupan sehariannya, juga penting untuk memahami budaya-budaya Bugis. Kurangnya persefahaman seringkali menimbulkan pergeseran yang berakhir dengan konflik. Pemahaman atas budaya Bugis dan sebaliknya (orang Bugis juga harus memahami budaya pihak lain) adalah salah satu cara untuk menjalin hubungan yang harmonis.

Di mata orang luar, orang Bugis dikenal sebagai orang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu, demi mempertahankan kehormatan (siriq), mereka bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, di balik sifat keras itu, orang Bugis juga dikenali sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi kesetiakawanannya. Orang Bugis memiliki berbagai ciri khas yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah Nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India, dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktiviti mereka. Orang Bugis juga memiliki kesusastraan, baik lisan maupun tulisan yang cukup dikagumi. Dan setelah menganut Islam, bersama Aceh, Minangkabau, Melayu, Sunda, Madura, Moro, Banjar, Makassar, dan Mandar, orang Bugis dikenali sebagai orang di Nusantara yang kuat identiti keislamannya, malah menurut Pelras, orang Bugis menjadikan Islam sebagai bahagian integral dan esensial dari adat istiadat dan budaya mereka.
Meskipun demikian, pada saat yang sama, pelbagai peninggalan pra-Islam tetap mereka pertahankan sampai akhir abad ke-20. Salah satu di antara peninggalan pra-Islam yang paling menarik ialah bissu, yaitu sebuah kelompok yang terdiri dari pendeta-pendeta wadam yang masih menjalankan ritual perdukunan serta dianggap dapat berkomunikasi dengan dewa-dewa leluhur.
Dalam kehidupan masyarakat Bugis, interaksi sehari-hari pada umumnya berdasarkan sistem patron-klien, yaitu sistem kelompok setia kawan antara seorang pemimpin dan pengikutnya yang kait-mengait dan menyeluruh. Namun, ikatan kelompok itu tidak melemahkan kepribadiannya. Orang Bugis memiliki sistem hierarki yang rumit dan kaku, tetapi pada sanggup berjuang untuk mencapai kedudukan sosial amat tinggi, baik melalui jabatan maupun kekayaan yang juga merupakan pendorong utama untuk menggerakkan roda kehidupan sosial kemasyarakatan mereka. Di dalam melihat ciri-ciri orang Bugis seperti disebut di atas, yang dilihat saling berlawanan itu, Pelras tidak melihatnya sebagai ciri yang negatif, bahkan sebaliknya, ia menyimpulkannya dengan kata-kata ”mungkin ciri khas yang saling berlawanan itulah yang membuat orang Bugis memiliki kemampuan yang sangat tinggi serta memungkinkan mereka menjadi perantau”. Di seluruh Nusantara sendiri dapat dijumpai orang Bugis yang sibuk dengan aktiviti pelayaran, perdagangan, pertanian, pembukaan ladang, perkebunan di hutan, atau pekerjaan apa saja yang mereka anggap sesuai dengan kondisi ruang.


..sumber  :  wikipedia bahasa melayu...

Tiada ulasan:

Catat Ulasan